Kelud | |
---|---|
Gunung Kelud dengan danau kawah (1980)
|
|
Gunung Kelud (sering disalahtuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu" dalam bahasa Jawa; dalam bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang masih aktif. Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri.
Morfologi
Gunung api ini termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif. Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi,
gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang
relatif pendek (9-25 tahun), menjadikannya sebagai gunung api yang
berbahaya bagi manusia.
Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah (hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat aktivitas tahun 2007 yang memunculkan kubah lava, danau kawah nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan air.
Puncak-puncak yang ada sekarang merupakan sisa dari letusan besar
masa lalu yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di sisi barat
daya runtuh terbuka sehingga kompleks kawah membuka ke arah itu. Puncak Kelud adalah yang tertinggi, berposisi agak di timur laut kawah. Puncak-puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan.
Catatan aktivitas Gunung Kelud
Sejak abad ke-15, Gunung Kelud telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa.[1]
Sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat secara
ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini setelah
letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa akibat banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk.
Pada abad ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus pada tahun 1901, 1919 (1 Mei[2]),
1951, 1966, dan 1990. Pola ini membawa para ahli gunung api pada siklus
15 tahunan bagi letusan gunung ini. Memasuki abad ke-21, gunung ini
erupsi pada tahun 2007, 2010, dan 2014. Perubahan frekuensi ini terjadi
akibat terbentuknya sumbat lava di mulut kawah gunung.
Letusan 1919
Letusan ini termasuk yang paling mematikan karena menelan korban
5.160 jiwa , merusak sampai 15.000 ha lahan produktif karena aliran
lahar mencapai 38 km, meskipun di Kali Badak telah dibangun bendung
penahan lahar pada tahun 1905[3].
Selain itu Hugo Cool pada tahun 1907 juga ditugaskan melakukan
penggalian saluran melalui pematang atau dinding kawah bagian barat.
Usaha itu berhasil mengeluarkan air 4,3 juta meter kubik[4].
Karena letusan inilah kemudian dibangun sistem saluran terowongan
pembuangan air danau kawah, dan selesai pada tahun 1926. Secara
keseluruhan dibangun tujuh terowongan. Pada masa setelah kemerdekaan
dibangun terowongan baru setelah letusan tahun 1966, 45 meter di bawah
terowongan lama. Terowongan yang selesai tahun 1967 itu diberi nama
Terowongan Ampera. Saluran ini berfungsi mempertahankan volume danau
kawah agar tetap 2,5 juta meter kubik[3].
Letusan 1990
Letusan 1990 berlangsung selama 45 hari, yaitu 10 Februari 1990
hingga 13 Maret 1990. Pada letusan ini, Gunung Kelud memuntahkan 57,3
juta meter kubik material vulkanik. Lahar dingin menjalar sampai 24
kilometer dari danau kawah melalui 11 sungai yang berhulu di gunung itu.
Letusan ini sempat menutup terowongan Ampera dengan material vulkanik. Proses normalisasi baru selesai pada thaun 1994.
Letusan 2007
Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih
terus berlanjut hingga November tahun yang sama, ditandai dengan
meningkatnya suhu air danau kawah,
peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan warna danau kawah dari
kehijauan menjadi putih keruh. Status "awas" (tertinggi) dikeluarkan
oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10 km
dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng gunung
tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.
Setelah sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat
sejak 30 Oktober 2007 dengan peningkatan pesat suhu air danau kawah dan
kegempaan vulkanik dangkal. Pada tanggal 3 November 2007 sekitar pukul
16.00 suhu air danau melebihi 74 derajat Celsius, jauh di atas normal
gejala letusan sebesar 40 derajat Celsius, sehingga menyebabkan alat
pengukur suhu rusak. Getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih
dari 35mm) menyebabkan petugas pengawas harus mengungsi, namun kembali
tidak terjadi letusan.
Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik dalam sejarah
Kelud dengan munculnya asap tebal putih dari tengah danau kawah diikuti
dengan kubah lava
dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus
"tumbuh" hingga berukuran selebar 100 m. Para ahli menganggap kubah lava
inilah yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera
terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk mendorong kubah lava sisa
letusan tahun 1990.
Sejak peristiwa tersebut aktivitas pelepasan energi semakin berkurang
dan pada tanggal 8 November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi
"siaga" (tingkat 3).
Danau kawah Gunung Kelud praktis "hilang" karena kemunculan kubah
lava yang besar. Yang tersisa hanyalah kolam kecil berisi air keruh
berwarna kecoklatan di sisi selatan kubah lava.
Letusan 2014
Setelah diketahui adanya peningkatan aktivitas sejak akhir tahun 2013 [5], Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga pada 10 Februari 2014 dan kemudian Awas pada 13 Februari 2014 pukul 21.15 WIB [6].
Erupsi tipe eksplosif seperti pada tahun 1990 (pada tahun 2007 tipenya
efusif, yaitu berupa aliran magma) diprediksikan akan terjadi setelah
hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kec. Ngandar,
Kediri, Jawa Timur, lokasi tempat gunung berapi yang terkenal aktif ini
berada, bahkan hingga kota Pare, Kediri. Wilayah Wates dijadikan tempat
tujuan pengungsian warga yang tinggal dalam radius sampai 10 kilometer
dari kubah lava menurut rekomendasi dari Pusat Vulkanologi, Mitigasi,
dan Bencana Geologi (PVMBG) [7].
Gemuruh aktivitas gunung juga sesekali terdengar hingga wilayah Kab.
Jombang. Dampak berupa abu vulkanik pun pada 14 Februari 2014 dini hari
dilaporkan warga telah mencapai Kab. Ponorogo.
Letusan 2014
Letusan 2014 telah dideteksi oleh PVMBG dan ditanggapi dengan
peningkatan status menjadi Waspada (level II). Pada tanggal 10 Februari
status meningkat menjadi Siaga (Level III), dan persiapan-persiapan
mengenai kebencanaan telah mulai dilakukan. Kawasan seputar 5 km dari
titik puncak kawah telah disterilkan dari kegiatan manusia. Pada tanggal
13 Februari pukul 21 dimumkan status bahaya tertinggi, Awas (Level IV),
sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan dari manusia. Belum
sempat pengungsian dilakukan, pada pukul 22.40 telah terjadi letusan
tipe ledakan (eksplosif).
Suara ledakan dilaporkan terdengar sampai kota Yogyakarta (200 km), bahkan Purbalingga (lebih kurang 300 km), Jawa Tengah.
No comments:
Post a Comment